Pepatah lama mengatakan peraturan itu ada untuk ditaati. Maksudnya baik, supaya masyarakat teratur. Seringkali ungkapan ini diplesetkan jadi peraturan itu ada untuk dilanggar. Munculnya ungkapan kedua sebagai cerminan bahwa masih ada pihak yang nggak bisa menaati peraturan. Ungkapan pertama nggak mutlak, karena ada aja orang yang melanggar peraturan. Ungkapan kedua juga nggak sepenuhnya benar. Kalau melanggar peraturan lalu dihukum kan malah rugi sendiri. Jadi ungkapan yang rasa-rasanya cocok adalah “peraturan itu ada untuk diakali.”
Kalau diamati, berapa kali sih kita lihat di koran atau TV, ada koruptor diadili tapi hukumannya ringan, atau malah bebas. Bang Gayus misalnya, untuk vonis pertama berupa hukum pidana tujuh tahun saja menurut hakim sudah layak. Masih orang yang sama. Kok bisa-bisanya pergi keluar dari penjara berkali-kali sampai nonton pertandingan tenis di Bali. Terus sempet ke Singapura segala. Arthalyta Suryani, atau mbak Ayin mendekor selnya bak apartemen pribadi. Kulkas, TV, AC, semua ada. Kos-kosan mahasiswa jelas kalah mewah. Kalo hal ini nggak dibuka ke publik, bang Gayus mungkin sempet naik haji dan mbak Ayin buka kos-kosan di penjara. Sekarang yang bikin kontras. Mpok Minah yang bukan siapa-siapa diancam pidana penjara gara-gara mencuri tiga butir kakao. Percaya?
Makanya, ungkapan yang cocok adalah peraturan itu ada untuk diakali. Selama nggak ketahuan ya nggak bersalah.