Monday, January 24, 2011

Peraturan itu Ada untuk Diakali

Pepatah lama mengatakan peraturan itu ada untuk ditaati. Maksudnya baik, supaya masyarakat teratur. Seringkali ungkapan ini diplesetkan jadi peraturan itu ada untuk dilanggar. Munculnya ungkapan kedua sebagai cerminan bahwa masih ada pihak yang nggak bisa menaati peraturan. Ungkapan pertama nggak mutlak, karena ada aja orang yang melanggar peraturan. Ungkapan kedua juga nggak sepenuhnya benar. Kalau melanggar peraturan lalu dihukum kan malah rugi sendiri. Jadi ungkapan yang rasa-rasanya cocok adalah “peraturan itu ada untuk diakali.”

Kalau diamati, berapa kali sih kita lihat di koran atau TV, ada koruptor diadili tapi hukumannya ringan, atau malah bebas. Bang Gayus misalnya, untuk vonis pertama berupa hukum pidana tujuh tahun saja menurut hakim sudah layak. Masih orang yang sama. Kok bisa-bisanya pergi keluar dari penjara berkali-kali sampai nonton pertandingan tenis di Bali. Terus sempet ke Singapura segala. Arthalyta Suryani, atau mbak Ayin mendekor selnya bak apartemen pribadi. Kulkas, TV, AC, semua ada. Kos-kosan mahasiswa jelas kalah mewah. Kalo hal ini nggak dibuka ke publik, bang Gayus mungkin sempet naik haji dan mbak Ayin buka kos-kosan di penjara. Sekarang yang bikin kontras. Mpok Minah yang bukan siapa-siapa diancam pidana penjara gara-gara mencuri tiga butir kakao. Percaya?

Makanya, ungkapan yang cocok adalah peraturan itu ada untuk diakali. Selama nggak ketahuan ya nggak bersalah.


Betapa bosan liat media angkat berita korupsi tapi nggak tamat-tamat. Strategi sesederhana “bongkar, tangkap, vonis, beres” nggak pernah terwujud dalam waktu singkat. Kasus mafia pajak ini aja udah dari lama diangkat media tapi nggak juga The End. Penyelesaian kasus kayak dipanjang-panjangin, publik dibocorin informasi sedikit-sedikit supaya diskusi panjang lebar. Ada informasi baru, diskusi lagi. Ada informasi tambahan, diskusi lagi. Ibarat sinetron di televisi yang episodenya panjang banget, ceritanya udah kemana-mana, dan nggak tau tamatnya kapan. Barangkali rencananya supaya publik capek sendiri, dan kahirnya bosen, nggak mau mikirin lagi. Publik semakin ngeh kok kalo ada permainan di atas sana. Tapi gimana mau ngebuktiin? Informasi yang beredar sedikit banget (apa mungkin keluarnya informasi juga diatur?). Kembali ke itu tadi, peraturan ada untuk dilanggar. Tipu-tipu dikit supaya perusahaan saya bisa lolos dari jeratan pajak, nyeleweng sedikit supaya bisa ngutil dana APBD. O ya, buat yang belom tau. Kompas edisi Senin, 24 Januari 2011 bilang dari 33 propinsi, hanya lima kepala daerah yang nggak terjerat kasus korupsi APBD. Canggih deh usaha ngakalin peraturan.

Gimana caranya ya supaya bisa ngakalin hukum? Punya duit mungkin? Atau punya jabatan setinggi langit biar bisa punya teman orang penting? Apa jadi pengusaha kaya-raya masuk hitungan?

Nggak usah jauh-jauh sih. Gini-gini rakyat jelata juga jago kok ngakalin peraturan. Hayo angkat tangan, siapa yang kalo ditilang polisi pilih damai. Atau yang masih sekolah, siapa yang mahir nyontek? Padahal ada aturannya kan nggak boleh nyontek? Siapa yang ahli banget nyeberang jalan sembarangan, padahal udah disediain zebra cross? Hehe..

Bukan bermaksud nyalahin para petinggi di atas sana. Yang ada di bawah juga udah biasa ngakalin peraturan juga kan? Jadi yang perlu disadari, nggak masyarakat bawah, nggak pejabat berdasi, semua bisa ngakali peraturan. Selama nggak ketahuan dan nggak dihukum ya nggak salah dong. Kan nggak terbukti bersalah. Hmm..

Terakhir, ada quote dari film Training Day. Alonzo Harris, seorang penegak hukum korup, berkomentar soal seorang narapidana yang batal ditahan karena pura-pura gila: “Dia berhasil mengakali sistem. Dia layak mendapatkan kebebasannya.”

No comments:

Post a Comment